Empat dekade lalu, Zhang Xin bukan siapa-siapa. Dia hanyalah seorang anak dari buruh pabrik. Bahkan demi bertahan hidup, dia harus membantu ibunya bekerja di pabrik. Keadaan serba kekurangan itu mesti dijalani saat usianya baru menginjak belasan tahun.

Lantas, sang ibu memboyongnya ke Hong Kong dengan harapan mendapatkan kehidupan lebih baik. Sayang, harapannya kandas. Meski Zhang Xin turun tangan menjadi buruh dengan bekerja 12 jam, tetap kehidupannya sulit berubah.

Untungnya, kesadaran Zhang Xin untuk menata masa depan tertempa di sini. Dia begitu disiplin menabung dari upahnya yang tak seberapa untuk modal terbang ke Inggris.

Pendidikan! Ya, itu yang dikejar Zhang Xin di Inggris walau tak bisa cas cis cus sekali pun. Dia meyakini pendidikan adalah tongkat ajaib yang bisa mengubah hidupnya di masa depan.

Kesungguhannya membuahkan hasil. Di usia 27 tahun, wanita kelahiran Tiongkok ini sudah menyabet gelar master di bidang Development Economics dari Cambridge University. Dia pun sempat bekerja di perusahaan mentereng, Goldman Sach and Traveles Group.

 
Ini lah Zhang Xin, wanita cantik yang kekayaannya melebihi Donald Trump


Walau sudah berada di zona nyaman, tapi Zhang Xin tetap gelisah. Dia memutuskan balik ke negaranya dengan satu idealism,”membuat kehidupan baru yang juga dirasakan penduduk Tiongkok!”
Idealisme itu diwujudkan bersama suaminya, Pan Shiyi. Mereka menjajal peruntungan di dunia properti lewat bendera SOHO.

”Kala itu saya begitu ingat betapa perusahaan kami harus merintis dari utang dan berjuang membayar tagihan. Kami pun mengontrol semua pengeluaran dengan ketat,” katanya seperti dikutip dari Sunday Telegraph.

Perjuanganya berujung manis. Bisnis propertinya melejit. Kekayaannya pun bertumpuk. Bahkan Majalah Forbes menyebut nilai kekayaannya yang fantastis itu melebihi Oprah Winfrey maupun konglomerat Donald Trump.
Lalu apa yang bisa dipetik dari kisah Zhang Xin?

1. Utamakan pendidikan

Meski hidup miskin, Zhang Xin tak pernah mengabaikan pendidikan. Sang ibunda menanamkan dengan keras betapa pendidikan itu pintu kesuksesan. 

Alasan hijrah ke Hong Kong pun didasari pada alasan itu di man sang ibunda menginginkan Zhang Xin dapat bersekolah di tempat yang lebih baik ketimbang di Beijing.

Pesan ibunya begitu kuat terinternalisasi dalam diri Zhang Xin. Terlihat betapa disiplinnya Zhang Xin menyisihkan upahnya untuk ditabung sebagai bekal pendidikannya kelak.

Keinginannya untuk ‘belajar’ demikian kuat sampai nekat terbang ke London dengan tabungannya itu. Di ibu kota negerinya Ratu Elizabeth pun dia tetap menabung dari upahnya bekerja di kafe sebagai modal masuk universitas.

Pendidikan menjadi modal pertama Zhang Xin


Sayangnya, sebagian dari kita kurang menyadari pentingnya pendidikan sebagai tiket masa depan. Padahal Malcom X pernah mengingatkan betapa ‘Pendidikan adalah tiket ke masa depan. Hari esok dimiliki oleh orang-orang yang mempersiapkan dirinya sejak hari ini”.

2. Asah social skill

Zhang Xin mengasah social skill agar mudah beradaptasi hidup di negeri orang. Dia paham betul kualitas kehidupan menjadi lebih baik dengan meningkatkan kompetisi social agar mudah bergaul secara luwes dan diterima lingkungan.

Social skill Zhang Xin patut diacungi jempol. Bayangkan, seorang perempuan yang tak bisa bahasa Inggris, terbang seorang diri ke London, dan dalam waktu singkat bisa diterima bekerja di kafe!

Statusnya sebagai seorang imigran di negeri orang tak membuatnya inferior. Dia juga tak membeda-bedakan teman. Terbukti, Pan Shiyi yang di kemudian hari menjadi suaminya, justru hidupnya lebih kurang beruntung darinya. Kepiawaiannya dalam social skill juga turut membantunya mendapatkan pekerjaan di Goldman Sach, perusahaan investasi yang banyak diidamkan pekerja di Inggris.

3. Bekerja di tempat yang mengasah kemampuan

Zhang Xin beruntung sempat bekerja di Goldman Sach. Pilihannya bekerja di bank investasi kenamaan ini bukan sekadar gajinya saja tapi terkenal akan prinsipnya yang begitu menghargai perkembangan sumber daya manusia.

Prinsip sumber daya manusia di Goldman adalah perusahaan akan memberi kesempatan kepada karyawannya berkembang lebih cepat dari mereka yang bekerja di perusahaan lain. Logika sederhananya, kalau karyawannya pintar-pintar dan berkinerja bagus, pasti perusahaan untung bukan!

Zhang Xin diwawancarai oleh mantan perusahaan tempat dia bekerja.


Bandingkan sebagian dari kita yang mengincar tempat kerja karena renumerasinya baik, kerjanya gampang, atau karena faktor gengsi. Sedikit dari kita yang berpikir bergabung di suatu perusahaan bukan sekadar bekerja karena gaji tapi untuk berkarya lebih. Ukurlah level tempat kita bekerja sekarang apakah kita bisa manfaatkan untuk ‘self branding’.

“Pekerjaan itu tidak memberiku kelimpahan tapi memberiku keamanan finansial sekaligus kehidupan yang itu-itu saja ” tulis Andrea Hirata di novelnya Edensor.

4. Desain mimpi yang visioner

Semua orang ingin hidup sejahtera, begitu pun Zhang Xin. Kemiskinan bukan alasan Zhang Xin berhenti bermimpi.
Yang membedakan mimpi Zhang Xin dengan orang kebanyakan adalah mimpinya didesain begitu visioner. Dia paham betul kesuksesan tak jatuh dari langit. Maka itu dia pun membutuhkan ‘tangga’ untuk meraihnya. 

Dia pun menguji mimpinya tak setengah-setengah dengan terbang ke benua lain. Di tempat yang asing, Zhang Xin harus mampu survive dan siap dengan segala keadaan yang tak sesuai rencana. Keberanian adalah modal terbesar dalam diri Zhang Xin.

Betul kata Pramoedya Ananta Toer yang pernah menulis kalimat, ‘dalam hidup kita, cuma satu yang kita punya, yaitu keberanian. Kalau tidak punya itu, lantas apa harga hidup kita ini?”

5. Utang itu ujian orang bermental kaya

Zhang Xin tak bakalan mendapat titel Ratu Properti di China kalau tak berani mulai berutang! Yup, dia berutang agar perusahaan properti yang dirintisnya bisa jalan. Berutang menjadi solusi karena dia memulai usahanya dari nol yang dinamai SOHO. 

Usahanya pun tak selalu berjalan lancar. Pada suatu waktu, usahanya kolaps dan tercatat punya utang sampai 1,65 miliar dollar AS. Sebuah angka yang sangat besar. Besarnya utang menjadi ujian sesungguhnya bagi Zhang Xin.


Zhang Xin adalah wanita pejuang yang tak berhenti mencoba walau memiliki kekurangan dan tak gentar meski gagal.


Dia akan tercatat sebagai pengusaha sukses jika mampu keluar dari masalah utang yang menggunung ini. ”Saya teringat ketika kami sedang berjuang membayar gaji dan tagihan. Bagaimana pun perusahaan harus terus bergerak meskipun dengan utang,” tandasnya dengan yakin.

Zhang Xin tak terpikir untuk banting stir ke bisnis lain selain properti. Dia tetap yakin utangnya mampu diselesaikan dengan berbagai strategi pengetatan. Ada kalimat bijak yang mengungkapkan ‘orang bermental kaya akan terus menjadi kaya meskipun sebelumnya dia bangkrut dengan utang selangit’.

Bayangkan kalau bisnis kita kolaps dan punya utang segunung, apa tindakannya? Takut hidup melarat gara-gara utang bisa jadi tanda kita belum punya mental orang kaya!

6. Hidup hemat

Majalah Forbes menyebut Zhang Xin masuk daftar ke-30 orang terkaya sejagad dengan kekayaan senilai 3,7 miliar dollar AS. Menariknya, dia justru hidup penuh kesederhanaan. Dia hanya terbang dengan kelas bisnis, tak berdandan berlebihan, aksesori yang biasa dikenakan hanyalah gelang emas. Jauh dari kesan gaya hidup sosialita.

Meski mobilnya Lexus, tapi dia mengaku tak tahu kalau itu adalah sedan mewah. Itu pun awalnya dia enggan membahas mobilnya. ”Saya tak tahu model mobil itu,” ucapnya merendah. 

Zhang Xin punya pendapat sendiri mengapa tetap mempertahankan gaya hidup mewah meski sudah dikenal sebagai orang kaya sejagad. ”Ini bukan kesanggupan tapi tentang kesadaran,” katanya penuh arti.

Orang sekelas Zhang Xin dengan kekayaan begitu besar tetap mempertahankan pola hidup down to earth. Padahal yang statusnya belum kaya beneran saja sudah menerapkan perilaku konsumtif di luar kemampuan finansial. Baru bergaji Rp 5 juta saja sudah bayangkan ingin beli ini itu!

7. Tetap ada waktu bersama keluarga

Harta sesungguhnya bagi Zhang Xin adalah keluarga. Dia paham betul itu. Apalah artinya mengejar uang bertumpuk-tumpuk dan tak berseri tapi justru melupakan keluarga.

Zhang Xin menyadari dirinya adalah hasil didikan sang ibunda yang selalu mengajarkan ketidakputusaan. Didikan inilah yang membuatnya jadi pribadi yang tangguh dan sukses di kemudian hari.

Zhang Xin bersama suaminya disebut sebagai ‘duo dinamis’.


Inilah alasan kenapa Zhang Xin tak pernah absen untuk menyaksikan pertandingan sepakbola anaknya. Menemani mereka mengerjakan pekerjaan rumah. Bahkan waktu akhir pekannya dia dedikasikan penuh untuk keluarga. ”Ini membuat aku sadar kalau kehidupan lebih besar dari kerja, kerja, kerja,” tuturnya.

Status konglomerat yang disandang Zhang Xin tak mengubah kodratnya sebagai seorang ibu. Dia tetaplah ibu dari anak-anaknya dan istri dari suaminya. Kesuksesan tak mengubah jati diri seseorang.  Wanita tetaplah wanita. Berbisnis bukanlah alasan kita untuk jauh dari keluarga!